oleh

Menjadikan Pattimang sebagai Identitas Keislaman di Jazirah Sulawesi Selatan

-Agama-6 views

SEMANGATKARYA.COM, Luwu Utara – Pernyataan menarik dilontarkan Andi Sulolipu Sulthani, S.E., Opu To Panandrang saat menjadi Narasumber Sejarah Kebudayaan Islam Tana Luwu, Senin (27/10/2025), di Kompleks Makam Dato’ Sulaiman Desa Pattimang, Kecamatan Malangke.

Di hadapan ribuan peserta seminar yang datang dari berbagai sekolah di Luwu Utara, Koordinator Ritual Adat Kedatuan Luwu tersebut menegaskan wilayah Malangke, khususnnya Desa Pattimang, sebagai pusat identitas keislaman di Jazirah Sulawesi Selatan.

Hal itu bukan tanpa alasan yang jelas. Opu Sulo, begitu ia akrab disapa, mengatakan bahwa Luwu merupakan kerajaan pertama yang menerima ajaran Islam di Jazirah Sulawesi Selatan. Mengingat kedudukannya sebagai kerajaan tertua di jazirah Sulsel.

“Ajaran Islam masuk pertama kali di Kedatuan Luwu, karena ada sebuah tatanan adat yang ingin diperjelas di Jazirah Sulsel, yang ingin dijalankan agar manusia dapat saling menghargai. Tatanan tersebut adalah sipakalebbi dan sikapatau,” kata Opu Sulo.

“Tananan adat ini dimaksudkan agar manusia bisa saling menghargai satu sama lain. Maka ketika Islam masuk di jazirah Sulsel pada umumnya, mereka mengatakan kami tidak akan memeluk Islam sebelum Luwu lebih dulu menerimanya,” sambungnya.

Dengan melihat sejarah masuknya ajaran Islam di Tana Luwu yang dibawa seorang ulama besar dari Sumatera bernama Dato’ Sulaiman, tepatnya di Desa Pattimang, Kecamatan Malangke, maka tak salah ketika wilayah ini dijadikan sebagai pusat peradaban Islam di Sulsel.

“Satu hal yang perlu disadari, dan mohon kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, agar wilayah Malangke ini, khususnya Desa Pattimang, dijadikan sebagai identitas keislaman di jazirah Sulsel.” jelas Opu Sulo yang juga dikenal sebagai Opu Keni Dapo Dapo.

Menurutnya, menjadikan Pattimang sebagai identitas keislaman di jazirah Sulsel harus menjadi bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat. “Komitmen ini tak boleh dibiarkan mati suri. Maka dari itu, bentuklah wilayah ini menjadi identitas islam di Sulsel,” harapnya.

Masih dia, masyarakat Kabupaten Luwu Utara, khususnya Desa Pattimang Malangke, tidak boleh terkungkung dalam euforia kebesaran masa lalu. Identitas Islam di Pattimang harus selalu hidup. Mengingat di wilayah inilah resmi pertama kali syahadat diucapkan.

“Sejarah itu bukan sekadar sebuah tulisan, bukan hanya menjadi cerita yang meninabobokan, tetapi harus menjadi sebuah penegasan bagi kita semua bahwa ajaran Islam itu lahir dan besarnya di sini, dan bukan sekadar euforia sejarah masa lalu,” terangnya.

Lanjut ia menambahkan, sejak masuknya Islam pertama kali di Kedatuan Luwu, maka prinsip adat mulai mengalami perubahan. Prinsip adat yang dimaksud adalah “Patuppui ri Ada’e, Pasandre ri Sara’e, yaitu Bertumpu pada Adat Istiadat dan Bersandar pada Syariat”.

“Segala keputusan adat itu harus bersandar pada syariat Islam. Jika ada keputusan adat yang tidak bersandar pada syariat, maka keputusan adat itu gugur dengan sendirinya,” tandasnya. Untuk diketahui, seminar sejarah kebudayaan Islam ini berlangsung menarik.

Terbukti, banyak siswa yang mengajukan pertanyaan kepada Narasumber. Jika tak dibatasi waktu, kemungkinan diskusi berlangsung lama. Kendati demikian, siswa terlihat sangat puas dan bangga mendapat pengetahuan tentang sejarah masuknya Islam di Tana Luwu.

Diketahui, seminar ini merupakan rangkaian kegiatan Napak Tilas Religi Sejarah Kebudayaan Islam Tana Luwu yang diinisiasi Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata, bekerja sama Adwindo Luwu Utara. Kegiatan ini juga didukung oleh Cabang Dinas Pendidikan Wilayah XII, Kemenag, Disdikbud, Pemerintah Kecamatan Malangke dan Pemerintah Desa Pattimang. (LHr)